Jika kita merasa sangat terdzolimi,
terkadang muncul kebencian memuncak di dalam diri kita yang mana itu bisa jadi
bom waktu yang bisa menghancurkan hidup kita.
Kita harus hati-hati dengan diri kita
ketika benci itu muncul. Memaafkan adalah cara terbaik tapi apa itu mudah?…
Melupakan perbuatan dzolim dan sakit hati kita, apa itu mudah? tentu itu ‘tidak
mudah’ dan semua butuh proses karena memang sifat dasar manusia yang tentunya
lebih cenderung merasa tidak terima dan ingin membalas.
Harusnya kita bisa kuat, harusnya
kita tidak menjadikan diri kita lemah dan terus diam atau malah membalas jika
didzolimi. Sabar itu cara terbaik, namun sabar manusia selalu menemui titik
jenuh.
Titik jenuh sabar adalah titik dimana
kesabaran itu sudah berubah fungsi. Sabar di sini bukan berarti pasrah pada
keadaan dan membiarkan diri kita hancur oleh kedzoliman, namun sabar di sini
adalah tetap berusaha untuk keluar dari kedzoliman itu untuk mendapatkan hidup
yang lebih indah dan bahagia, dan tidak ada kedzoliman yang membahagiakan
tentunya.
Keluarlah dari kedzoliman yang kamu alami
karena kamu berhak bahagia. Ketika kamu sudah keluar dari zona kedzoliman dan
ternyata masih menyisakan kebencian, apa yang harus kita lakukan? Ketika
kebencian menyeruak, kita harus terus mencari cara bagaimana kita bisa
meng-handle hal itu.
Jangan sampai membuat dirimu makin
terpuruk dengan ingatan kebencian pada orang yang mendzolimi-mu dan kesalahan
yang dilakukan orang tersebut terhadapmu.
Ada beberapa kiat yang bisa kita
terapkan jika kita didzolimi oleh orang-orang di sekeliling kita. Perlakuan
buruk orang lain terhadapmu jangan sampai menjadikanmu pribadi yang diliputi
kesedihan, kebencian. Walaupun kesedihan itu susah hilang akibat bekas buruk
yang mereka torehkan di hati kita, tapi cobalah maafkan mereka dengan
setulus-tulusnya maaf.
1. Allah memperingatkan kita untuk
selalu bersabar dan bersikap lemah lembut ketika menghadapi segala benturan
dari orang-orang di sekeliling kita.
Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Ali
Imran (3) : 159 yang artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya”. (Q.S. Ali-Imran: 159)
Tetapi, dalam sikap sabar dan
lemah-lembut kita bukan berarti bahwa kita tidak diperbolehkan bersikap tegas.
Sikap tegas itu mutlak diperlukan ketika benturan tersebut sudah menodai harga
diri, kehormatan dan akidah kita. Anjuran sabar dan bersikap lemah lembut
memang harus kita jalankan. Tetapi ketika seseorang tersebut terus men-dzolimi
kita berulangkali, maka sikap tegas harus kita kedepankan.
2. Hubungan antar manusia haruslah
berlandaskan ikhlas, saling menghargai, jujur, suka berterus terang, tidak
menggunjingkan satu dengan yang lain, tidak menyakiti hati yang lain dan tidak
menyembunyikan sesuatu yang membawa keburukan bagi orang lain.
Ketika sikap ikhlas tersebut hilang
dari salah satunya, dan malah mendatangkan keburukan bahkan kedzoliman terus
merajalela, maka hubungan antar manusia tersebut tidak ada gunanya untuk
dilanjutkan, karena sudah melanggar hakekat hubungan yang baik. Akan lebih
baik, meninggalkan orang-orang yang senang berbuat dzolim karena tentunya masih
banyak orang-orang yang baik di sekeliling kita.
Meninggalkan di sini bukan berarti
memutuskan silaturahim tetapi meninggalkan berarti melepaskan diri dari
hubungan dekat namun tetap menjaga silaturahim. Dengan menjaga jarak hubungan
diharapkan tidak akan timbul gesekan dan kedzoliman.
Tak perlu memaksakan diri untuk
dihargai karena orang yang baik akan dihargai orang yang baik juga. Maka
bertemanlah dengan orang baik dan tinggalkan mereka yang suka mendzolimi
sesamanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ
السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ
مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ
الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk (berteman)
dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan
pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk
olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman
dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus
terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101,
dari Abu Musa)
Rasulullah bersabda:
«ألا أنبئكم بخياركم؟»
قالوا: بلى يا رسول الله، قال: «خياركم الذين إذا رُؤوا ذُكِرَ اللهُ عز وجل
Maukah kalian aku tunjukkan manusia
terbaik diantara kalian?, sahabat menjawab,” Tentu Ya Rasulullah, Rasul
bersabda,”Sebaik-baik orang adalah yang jika kalian melihatnya mengingatkan
kepada Allah.” ( HR. Ibnu Majah no. 4119 dari hadits Asma’ bin Yazid )
Umar bin Khattab berkata,” Hendaklah
kalian bersama teman-teman yang baik, karena mereka ibarat hiasan kegembiraan
dan bekal dalam ujian.” ( Raudhatul Uqala hal. 90 )
Keutamaan lain yang dimiliki oleh
teman-teman yang baik adalah doa. Doa teman yang baik dari jauh akan dikabulkan
Allah, Rasulullah bersabda,” Doa seorang mukmin untuk saudara yang tidak berada
disisinya akan dikabulkan Allah, dibawa oleh Malaikat yang bertugas, setiap
saudaranya berdoa kebaikan malaikat berkata,” Amiin “ ( semoga Allah
mengabulkan ) Dan bagimu seperti doamu ( HR. Muslim 2733).
3. Selalu ada kebaikan bagi diri kita
walaupun kita merasakan sakit akibat didzholimi.
Apa kebaikan bagi kita? Allah akan
menambahkan pahala dan menggugurkan dosa-dosa orang yang terdzolimi.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi saw
bersabda: “Tahukah kamu siapa yang bangkrut itu?”, mereka (sahabat) berkata:
“Ya Rasulullah, orang yang bangkrut menurut kami ialah orang yang tidak punya
kesenangan dan uang” (kemudian) Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya orang yang
bangkrut dari umatku ialah orang yang datang (pada hari kiamat) membawa pahala
sholat, zakat, puasa dan haji. Sedang (ia) pun datang (dengan membawa dosa)
karena memaki-maki orang, mengumpat, memfitnah, memukul orang, dan mengambil
harta benda orang (hak–hak orang), maka kebaikan-kebaikan orang (yang
mendzolimi) itu diambil untuk diberikan kepada orang-orang yang terdzolimi.
Maka tatkala kebaikan orang (yang mendzolimi) itu habis, sedang hutang
(kedzolimannya) belum terbayarkan, maka diambilkan kajahatan-kejahatan dari
mereka (yang terdzolimi) untuk di berikan kepadanya (yang mendzolimi), kemudian
ia (yang mendzolimi) dilemparkan kedalam neraka (HR. Muslim)
4. Jangan pernah berpikir untuk membalas
dendam.
Jika kebencian itu menyeruak segera
alihkan, pikirkan hal yang positif bahwa kamu sedang diuji sabar oleh Allah,
kamu sedang diuji untuk ikhlas, dan kamu yakin bahwa skenario Allah selalu
indah. Walaupun kita merasakan sakit namun akan selalu ada kebaikan-kebaikan
yang Allah siapkan untuk kita.
Hilangkan kebencian dan keinginan
untuk membalas karena Allah yang akan membalasnya, Allah Maha Adil. Tidak ada
satu hal pun yang lepas dari pantauanNya. Tidak ada satu kejahatan pun atau
perbuatan buruk apapun yang tidak akan dibalas oleh-Nya. Jika kita difitnah
oleh orang lain dan di dzholimi, maka adukan dan pasrahkan kepada Allah.
Jangan kotori hati dan jiwa kita
untuk balas dendam atau menyimpan kebencian, amarah dan sakit hati. Ikhlaskan
semuanya kepada Allah.
Firman Allah dalam QS. Al Zaljalah :
7-8. “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarahpun, niscaya dia
akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan sebesar
dzarahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya juga”.
Dzolim merupakan perbuatan yang di
larang oleh Allah SWT dan termasuk dari salah satu dosa-dosa besar. Manusia
yang berbuat dzolim akan mendapatkan balasan di dunia dan siksa yang pedih di
akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surah Asy-Syura :
42“Sesungguhnya dosa besar itu atas orang-orang yang berbuat dzolim kepada
manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab
yang pedih“.
5. Jadikan ALLAH, satu satunya penolong
dan pelindung.
Allah menjanjikan dalam Surah
Al-Thalaq ayat 2 dan 3, “Barang siapa yang bersungguh-sungguh mendekati Allah
(bertaqwa), niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar bagi setiap
urusannya, dan akan diberi rezeki dari tempat yang tidak disangka-sangka. Dan
barang siapa yang bertawakal hanya kepada Allah, niscaya akan dicukupi segala
kebutuhannya.”
6. Maafkanlah dengan tulus mereka
yang mendzolimi-mu
Salah satu sifat mulia yang
dianjurkan dalam Al Qur’an adalah sikap memaafkan:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-A’raf 7:199)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ
أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“…dan hendaklah mereka memaafkan dan
berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An Nuur, 24:22)
Mereka yang tidak mengikuti ajaran
mulia Al Qur’an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab, mereka mudah
marah terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat. Padahal, Allah telah
menganjurkan orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih baik:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ
أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا
وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
… dan jika kamu maafkan dan kamu
santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14)
Berlandaskan hal tersebut, kaum
beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan, pengasih dan berlapang dada,
sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an :
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ
يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Yaitu orang2 yang menginfakkan
hartanya ketika lapang dan sempit dan menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang lain.” (QS. Ali ‘Imraan, 3:134)
Memaafkan adalah amalan yang sangat
mulia ketika seseorang mampu bersabar terhadap gangguan yang ditimpakan orang
kepadanya serta memaafkan kesalahan orang padahal ia mampu untuk membalasnya.
Memang sebuah kewajaran bila
seseorang menuntut haknya dan membalas orang yang menyakitinya. Dan dibolehkan
seseorang membalas kejelekan orang lain dengan yang semisalnya. Namun alangkah
mulia dan baik akibatnya bila dia memaafkannya. Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah
kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya
atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang
zalim.” (Asy-Syura: 40)
Memaafkan kesalahan orang acapkali
dianggap sebagai sikap lemah dan bentuk kehinaan, padahal justru sebaliknya.
Bila orang membalas kejahatan yang dilakukan seseorang kepadanya, maka
sejatinya di mata manusia tidak ada keutamaannya. Tapi di kala dia memaafkan
padahal mampu untuk membalasnya, maka dia mulia di hadapan Allah Subhanahu wa
ta’ala dan manusia.
Kemuliaan yang kita bisa dapat dari
memaafkan kesalahan orang yang mendzolimi kita.
Mendatangkan kecintaan Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman
dalam surat Fushshilat ayat 34-35: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang
sangat setia. Dan sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Fushshilat: 34-35)
Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan:
“Bila kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadamu maka kebaikan
ini akan menggiring orang yang berlaku jahat tadi merapat denganmu,
mencintaimu, dan condong kepadamu sehingga dia (akhirnya) menjadi temanmu yang
dekat. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: ‘Allah Subhanahu wa ta’ala
memerintahkan orang beriman untuk bersabar di kala marah, bermurah hati ketika
diremehkan, dan memaafkan di saat diperlakukan jelek. Bila mereka melakukan ini
maka Allah Subhanahu wa ta’ala menjaga mereka dari (tipu daya) setan dan musuh
pun tunduk kepadanya sehingga menjadi teman yang dekat’.” (Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim 4/109)
Mendapat pembelaan dari Allah Ta’ala
Al-Imam Muslim meriwayatkan hadits
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata: ”Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku punya kerabat. Aku berusaha menyambungnya namun
mereka memutuskan hubungan denganku. Aku berbuat kebaikan kepada mereka namun
mereka berbuat jelek. Aku bersabar dari mereka namun mereka berbuat kebodohan
terhadapku.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا
تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا
دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Jika benar yang kamu ucapkan maka
seolah-olah kamu menebarkan abu panas kepada mereka. Dan kamu senantiasa
mendapat penolong dari Allah atas mereka selama kamu di atas hal itu.”(HR.
Muslim)
Memperoleh ampunan dan kecintaan dari
Allah
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan
jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka
sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (At-Taghabun: 14)
Adalah Abu Bakr radhiyallahu’anhu
dahulu biasa memberikan nafkah kepada orang-orang yang tidak mampu, di
antaranya Misthah bin Utsatsah. Dia termasuk famili Abu Bakr dan muhajirin. Di
saat tersebar berita dusta seputar ‘Aisyah binti Abi Bakr istri Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam, Misthah termasuk salah seorang yang
menyebarkannya.
Kemudian Allah menurunkan ayat
menjelaskan kesucian ‘Aisyah dari tuduhan kekejian. Misthah pun dihukum dera
dan Allah Subhanahu wa ta’ala memberi taubat kepadanya. Setelah peristiwa itu,
Abu Bakr radhiyallahu’anhu bersumpah untuk memutuskan nafkah dan pemberian
kepadanya. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah orang-orang yang
mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka
(tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang
miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan
dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah
adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (An-Nur: 22)
Abu Bakr mengatakan: “Betul, demi
Allah. Aku ingin agar Allah mengampuniku.” Lantas Abu Bakr radhiyallahu’anhu
kembali memberikan nafkah kepada Misthah. (lihat Shahih Al-Bukhari no. 4750 dan
Tafsir Ibnu Katsir 3/286-287)
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda: “Sayangilah –makhluk– maka kamu akan disayangi Allah, dan berilah
ampunan niscaya Allah mengampunimu.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 293)
Al-Munawi rahimahullah berkata:
“Allah Subhanahu wa ta’ala mencintai nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya yang di
antaranya adalah (sifat) rahmah dan pemaaf. Allah juga mencintai makhluk-Nya
yang memiliki sifat tersebut.” (Faidhul Qadir 1/607)
Adapun Allah Subhanahu wa ta’ala
mencintai orang yang memaafkan, karena memberi maaf termasuk berbuat baik
kepada manusia. Sedangkan Allah Subhanahu wa ta’ala cinta kepada orang yang
berbuat baik, sebagaimana firman-Nya:
“Dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 134)
Mulia di sisi Allah maupun di sisi
manusia
Suatu hal yang telah diketahui bahwa
orang yang memaafkan kesalahan orang lain, disamping tinggi kedudukannya di
sisi Allah Subhanahu wa ta’ala, ia juga mulia di mata manusia. Demikian pula ia
akan mendapat pembelaan dari orang lain atas lawannya, dan tidak sedikit
musuhnya berubah menjadi kawan. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ
اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلَّا
رَفَعَهُ اللهُ
“Shadaqah –hakikatnya– tidaklah
mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah seorang hamba karena memaafkan
kecuali kemuliaan, dan tiada seorang yang rendah hati (tawadhu’) karena Allah
melainkan diangkat oleh Allah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Seseorang yang disakiti oleh orang
lain dan bersabar atasnya serta memaafkannya padahal dia mampu membalasnya maka
sikap seperti ini sangat terpuji. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda
(yang artinya): “Barangsiapa menahan amarahnya padahal dia mampu untuk
melakukan –pembalasan– maka Allah akan memanggilnya di hari kiamat di hadapan
para makhluk sehingga memberikan pilihan kepadanya, bidadari mana yang ia
inginkan.” (Hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
Ibnu Majah no. 3394)
Demikian pula pemaafan terpuji bila
kesalahan itu berkaitan dengan hak pribadi dan tidak berkaitan dengan hak Allah
Subhanahu wa ta’ala. ‘Aisyah radhiyallahu’anha berkata: “Tidaklah Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam membalas atau menghukum karena dirinya (disakiti)
sedikit pun, kecuali bila kehormatan Allah dilukai. Maka beliau menghukum
dengan sebab itu karena Allah.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, tidaklah beliau
disakiti pribadinya oleh orang-orang Badui yang kaku perangainya, atau
orang-orang yang lemah imannya, atau bahkan dari musuhnya, kecuali beliau
memaafkan.
Ada orang yang menarik baju Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam dengan keras hingga membekas pada pundaknya. Ada
yang menuduh Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam tidak adil dalam pembagian harta
rampasan perang.
Ada pula yang hendak membunuh Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam namun gagal karena pedang terjatuh dari tangannya.
Mereka dan yang berbuat serupa dimaafkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi wa
sallam. Ini semua selama bentuk menyakitinya bukan melukai kehormatan Allah
Subhanahu wa ta’ala dan permusuhan terhadap syariat-Nya.
Namun bila menyentuh hak Allah dan
agamanya, beliau pun marah dan menghukum karena Allah serta menjalankan
kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena itu, beliau melaksanakan cambuk
terhadap orang yang menuduh istri beliau yang suci berbuat zina.
Ketika menaklukkan kota Makkah,
beliau memvonis mati terhadap sekelompok orang musyrik yang dahulu sangat
menyakiti Nabi karena mereka banyak melukai kehormatan Allah Subhanahu wa
ta’ala. (disarikan dari Al-Adab An-Nabawi hal. 193 karya Muhammad Al-Khauli)
Kemudian, pemaafan dikatakan terpuji
bila muncul darinya akibat yang baik, karena ada pemaafan yang tidak
menghasilkan perbaikan. Misalnya, ada seorang yang terkenal jahat dan suka
membuat kerusakan di mana dia berbuat jahat kepada anda. Bila anda maafkan, dia
akan terus berada di atas kejahatannya.
Dalam keadaan seperti ini, yang utama
tidak memaafkan dan menghukumnya sesuai kejahatannya sehingga dengan ini muncul
kebaikan, yaitu efek jera. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menegaskan: “Melakukan perbaikan adalah wajib, sedangkan memaafkan adalah
sunnah. Bila pemaafan mengakibatkan hilangnya perbaikan berarti mendahulukan
yang sunnah atas yang wajib. Tentunya syariat ini tidak datang membawa hal yang
seperti ini.” (lihat Makarimul Akhlaq karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 20)
Belajar bagaimana memaafkan dari
Manusia-manusia pilihan Orang yang mulia selalu menghiasi dirinya dengan kemuliaan dan selalu berusaha
agar dalam hatinya tidak bersemayam sifat-sifat kejelekan. Para Nabi Allah
merupakan teladan dalam hal memaafkan kesalahan orang.
Misalnya adalah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam.
Beliau telah disakiti oleh saudara-saudaranya sendiri dengan dilemparkan ke
dalam sumur, lantas dijual kepada kafilah dagang sehingga berpindah dari satu
tempat ke tempat lainnya, dengan menanggung penderitaan yang tiada taranya.
Namun Allah Subhanahu wa ta’ala berkehendak memuliakan hamba-Nya melalui ujian
ini.
Allah pun mengangkat kedudukan Nabi
Yusuf ‘Alaihissalam sehingga menjadi bendahara negara di Mesir kala itu. Semua
orang membutuhkannya, tidak terkecuali saudara-saudaranya yang dahulu pernah
menyakitinya. Tatkala mereka datang ke Mesir untuk membeli kebutuhan pokok
mereka, betapa terkejutnya saudara-saudara Nabi Yusuf ketika tahu bahwa Nabi
Yusuf ‘Alaihissalam telah diangkat kedudukannya sebegitu mulianya. Mereka pun
meminta maaf atas kesalahan mereka selama ini. Nabi Yusuf ‘Alaihissalam
memaafkannya dan tidak membalas. Beliau mengatakan:
“Pada hari ini tak ada cercaan
terhadap kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni (kalian), dan Dia adalah Maha
penyayang di antara para Penyayang.” (Yusuf: 92)
Demikian pula Nabi Musa dan Nabi
Khidhir, ketika keduanya melakukan perjalanan dan telah sampai pada penduduk
suatu negeri. Keduanya meminta untuk dijamu oleh penduduk negeri itu karena
mereka adalah tamu yang punya hak untuk dijamu. Namun penduduk negeri itu tidak
mau menjamu. Ketika keduanya berjalan di negeri itu, didapatkannya dinding
rumah yang hampir roboh, maka Nabi Khidhir ‘Alaihissalam menegakkan dinding
tersebut.
Adapun Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi wa sallam, beliau adalah manusia yang terdepan dalam segala
kebaikan. Pada suatu ketika ada seorang wanita Yahudi memberi hadiah kepada
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam berupa daging kambing. Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam tidak tahu ternyata daging itu telah diberi racun.
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam pun
memakannya. Setelah itu Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam diberi tahu bahwa
daging itu ada racunnya. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam berbekam dan dengan
seizin Allah Subhanahu wa ta’ala beliau tidak meninggal. Wanita tadi dipanggil dan
ditanya maksud tujuannya. Ternyata dia ingin membunuh Nabi Shallallahu’alaihi
wa sallam. Maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam memaafkan dan tidak
menghukumnya. (Bisa dilihat di Shahih Al-Bukhari no. 2617 dan Zadul Ma’ad
3/298)
Jika kita didzolimi orang lain,
bersabarlah-tegaslah membentuk hubungan yang baik, jauhi orang yang berperangai
buruk dan bersamalah orang yang baik agar bisa selalu tolong menolong dalam
kebaikan-hilangkan amarah, kebencian dan dendam-janganlah membalas dengan
keburukan dan maafkanlah mereka dengan setulus-tulusnya maaf dan hanya kepada
Allah-lah sebaik-baik penolong dan pelindung bagi kita.
Semoga kita selalu berada pada
golongan orang-orang yang beriman...amiiinnn..
0 comments:
Post a Comment