Islam, Jabatan, dan
Kekuasaan
Tidak bisa dipungkiri jabatan selalu
menjadi daya tarik sepanjang masa. Entah sudah berapa episode sejarah yang
meninggalkan tragedi disebabkan ambisi jabatan (kekuasaan). Semua terekam dalam
sejarah. Mulai dari masayarakat purba sampai masyarakat modern selalu
menginginkan jabatan. Hal ini disebabkan pandangan mereka tentang jabatan dianggap
sesuatu yang prestisius.
Ambisi jabatan telah menenggelamkan
Fir’aun dengan kesombongannya, yang pada puncaknya memproklamirkan dirinya
sebagai Tuhan. Ada pula Hitler yang gila kekuasaan dan menghalalkan genoside
terhadap orang yang berada di luar rasnya. Namun, jika kita bertanya kepada
mereka untuk apa berambisi kepada kekuasaan, mereka menjawab itu semua untuk
kebahagiaan. Denan menduduki jabatan tersebut mereka eksis dan bisa menunjukkan
aktualisasi dirinya.Selain itu, kekuasaan bagi mereka adalah alat untuk
menguasai orang lain. Sarana untuk mengumpulkan kekayaan. Namun, mereka
tersiksa dalam kekalutan. Saat kekuasaan mereka berakhir.
Jabatan Adalah Amanah
Suatu ketika Abu Dzar RA meminta
kepada Rasulullah Saw agar diberi suatu jabatan. Rasulullah menjawab permintaan
Abu Dzar dengan sabdanya,
“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau
seorang yang lemah dan sesungguhnya jabatan itu adalah suatu amanah, dan
sesungguhnya ia adalah kehinaan dan penyesalan di hari kiamat kecuali yang
menjalankannya dengan baik dan melaksanakan tanggungjawabnya (HR. Muslim).
Imam Muslim dan an-Naisaburi
menempatkan hadist ini pada kitab Imarah (kepemimpinan) bab Karahah al Imrah
Biqhari Darwah (dibencinya menerima amanah kepemimpinan tanpa darurat). Imam
Nawawi mengatakan bahwa hadist ini adalah prinsip agung dalam menjauhi jabatan
dan kepemimpinan, terutama bagi orang yang lemah memikul tanggungjawab.
Rasulullah dengan tegas menyatakan
bahwa jabatan adalah amanah. Rasulullah menolak permintaan Abu Dzar karena
mengetahui ia lemah dalam hal ini. Hal ini dilakukan tanpa basa-basi, kendati
Abu Dzar adalah sahabat generasi awal masuk Islam.
Bukhari dan yang lainnya telah
meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang
diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
Allah Ta’ala berfirman,
ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ
, وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأكَلَ ثَمَنَهُ , وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى
مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
“Tiga Jenis (manusia) yang Aku akan
menjadi musuhnya kelak pada hari kiamat, yaitu: seseorang yang memberi dengan
nama-Ku, kemudian berkhianat; seseorang yang menjual orang yang merdeka (bukan
budak), kemudian memakan uangnya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja dan
telah diselesaikan pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan upahnya.”
Ibnu Majah telah meriwayatkan dari
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma dan Thabrani meriwayatkan dari
Jabi radhiallahu ‘anhu serta Abu Ya’la juga meriwayatkan dari Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْطُوا الأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah upah kepada pekerja
sebelum keringatnya kering.”
Para ulama telah menganggap bahwa
menunda pembayaran gaji pekerja atau tidak memberikannya setelah pekerjaan
diselesaikan, termasuk dosa besar berdasarkan ancaman yang sangat dahsyat ini.
Karena, penundaan pembayaran dari orang yang kaya merupakan bentuk kezaliman,
sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan ghashab. Di antara bentuk
kezalimannya adalah tidak memberikan sama sekali hak-hak pekerja, sedang para
pekerja tidak memiliki bukti. Bahkan, terkadang membebaninya dengan pekerjaan
atau menambah waktu kerja (lembur), tapi hanya memberikan gaji pokok saja tanpa
membayar pekerjaan tambahan atau waktu lembur dengan memanfaatkan momentum
minimnya lowongan pekerjaan dan kelemahan pihak pekerja. Terkadang pula,
terjadi penundaan pembayaran gaji dan tidak memberikannya kecuali dengan usaha
keras para pekerja dengan tujuan agar para pekerja melepaskan haknya dan tidak
menuntuk haknya kembali. Atau, ada yang bermaksud menggunakan upah pekerja
tersebut untuk usahanya dan mengelolanya, sedangkan si pekerja yang miskin
tersebut tidak memiliki bahan makanan untuk diri dan keluarganya.
Termasuk kategori dosa besar adalah
melarang orang-orang memanfaatkan sesuatu yang boleh digunakan oleh mereka baik
secara umum ataupun khusus, seperti: tanah tak bertuan yang siapapun boleh
memilikinya, jalan, masjid, tanah wakaf untuk orang miskin, dan barang tambang
yang tidak tampak maupun yang tampak. Maka, bila ada seseorang yang melarang
orang lain untuk memanfaatkannya, maka hal itu merupakan bentuk dosa besar,
karena serupa dengan tindakan ghashab. Orang seperti ini, layaknya
seseorang yang melarang orang lain untuk memilikinya. Sebab, orang yang berhak
memanfaatkan sesuatu, maka ia juga berhak untuk memilikinya. Sebagaimana
menahan hak milik seseorang termasuk dosa besar, maka perbuatan seperti ini pun
hukumnya sama. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan Al-Haitsami dalam kitabnya
Az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kaba’ir (I/263).
Dalam sebuah hadits disebutkan,
مِنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ
“Barangsiapa menghidupkan tanah yang
mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Abu Dawud, Nasai dan
Tirmidzi, hadits hasan)
Nasai juga meriwayatkan sebuah hadits
yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban yang berbunyi,
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَة فَلَهُ فِيْهَا أَجْرٌ, وَمَأَكَلَتِ الْعَوَافِي
مِنْهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ
“Barangsiapa menghidupkan tanah yang
mati, maka akan mendapatkan pahala. Dan, apa yang dimakan oleh burung dan
binatang buas, maka itu merupakan sedekah baginya.”
Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits
dari Hasan bin Samurah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sa llam, beliau
bersabda,
مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ
“Barangsiapa yang memberi tanda di
bumi (yang tidak ada pemiliknya), maka bumi itu menjadi miliknya.”
Para ulama telah sepakat bahwasanya
orang yang menghidupkan tanah (yang tidak ada pemiliknya) merupakan sebab
kepemilikan. Kebanyakan dari mereka tidak mensyaratkan adanya izin dari hakim.
Hanya saja, sebaiknya tanah tersebut jauh dari keramaian, sehingga tidak ada
yang memilikinya. Ada yang berpendapat, bahwa barangsiapa yang memberikan tanda
atau memberi garis pembatas (pada tanah yang tak ada pemiliknya), kemudian ia
tidak merawatnya dengan diolah, maka sesudah tiga tahun gugurlah
kepemilikannya. Jika ada seseorang yang merawat suatu tempat dengan prasangka
tempat tersebut tidak ada pemiliknya, kemudian datang seseorang yang mengakui
bahwa tempat tersebut adalah miliknya, maka ada dua pilihan; orang yang
meramaikan tempat tersebut mengembalikan kepada pemiliknya, setelah ia
mengambil bayaran dari pemilik atas apa yang ia lakukan; atau kepemilikan tanah
tersebut menjadi miliknya setelah ia membayar harganya. Inilah yang terjadi
pada masa Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdil Aziz. Diperbolehkan bagi hakim
yang adil untuk memberikan kepemilikan seseorang baik dari kepemilikan tanah,
pertambangan dan sumur selama di dalamnya terdapat kebaikan. Namun, hal ini
tidak diperbolehkan jika alasannya karena faktor ia senang kepada orang
tersebut. Dalam sejumlah atsar disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sa llam dan para Khulafaur Rasyidin serta orang-orang sesudahnya
memberikan tanah kepada sekelompok orang. Akan tetapi, jika hal tersebut tidak
ada manfaatnya dengan tidak dirawatnya tanah tersebut, maka pemberiannya
tersebut dapat dicabut kembali.
Menjadi Pemimpin yang Efektif Harus Banyak Mendengar
Salah satu keterampilan paling
penting dan mendasar yang dapat di kuasai seorang pemimpin agar peran dan
fungsi kepemimpinannya menjadi lebih efisien dan efektif. Itu adalah dasar dari
begitu banyak keterampilan dan sifat lain yang membentuk seorang pemimpin.
Artinya, seorang pemimpin yang tidak mampu dan terampil dalam mendengarkan,
dipastikan akan mempengaruhi begitu banyak masalah yang akan muncul dalam
melaksanakan tugas dan tanggungjawab kepemimpinannya.
Di dalam praktek, bila pemimpin tidak
menyadari dan melatihnya akan menjadi sulit. Betul, bahwa mengendalikan diri
mendengarkan sebagai keterampilan yang sulit untuk di kuasai karena
mengharuskan seseorang agar lebih hadir, penuh perhatian, terlibat, terbuka dan
fleksibel dengan karyawan atau follower nya.
Situasi ini semakin menjadi sulit dan
berat serat rumit, ketika revolusi komunikasi dan teknologi informasi saat ini
telah mendorong begitu kencangnya arus informasi yang terus mengalir. Sehingga,
keterampilan mendengarkan yang baik di era digital ini menjadi penting dan
mendasar, karena informasi yang berlebihan dan rentang perhatian yang sangat
pendek, dengan cepat menjadi spesies yang terancam punah tanpa bekas dan jejak.
Pemimpin yang terus sibuk untuk
berbicara dan tidak pernah memberikan kesempatan kepada orang lain untuk
menyampaikan pikiran dan pendapatnya, maka apa yang diharapkan tidak pernah
akan optimal dan efektif adanya.
Bahkan pesan pentingnya mau
menegaskan agar "jangan hanya mendengarkan dengan telinga luar Anda saja,
tetapi gunakanlah telinga bagian dalam Anda untuk mendengarkan karyawan dan
orang lain, dengan maksuda dan tujuan memahami dan bukan untuk dipahami orang
lain".
Di Kutip dari beberapa Sumber
Wassalamualaikum.w.w
0 comments:
Post a Comment